• 0 Items - Rp0.00
    • No products in the cart.
semangat kartini

Sebuah Cerita:

Langit Jakarta sore itu berwarna jingga pekat, semburat ungu mulai merayap di ufuk barat. Di lantai 27 sebuah gedung pencakar langit, Kania menatap keluar jendela, laptopnya masih menyala menampilkan barisan kode yang rumit. Di usianya yang baru 28 tahun, ia adalah pendiri sekaligus CTO sebuah startup teknologi yang mulai diperhitungkan. Namun, sore itu, kelelahan dan secercah keraguan menyelimutinya. Baru saja ia keluar dari rapat virtual dengan calon investor – rapat kesekian kalinya yang berakhir dengan kalimat halus namun menusuk: “Konsepnya menarik, Kania. Tapi… apakah tim Anda benar-benar siap mengelola skala sebesar ini?”

Gambar lustrasi: Wanita dengan semangat Kartini di perkantoran
Gambar lustrasi: Wanita dengan semangat Kartini di perkantoran

Kania tahu arti ‘tapi’ itu. Itu adalah keraguan terselubung pada kepemimpinannya sebagai perempuan muda di dunia teknologi yang didominasi laki-laki. Kegelapan itu bukan lagi kungkungan pingitan fisik seperti yang dialami Raden Ajeng Kartini seabad lalu, tapi kungkungan stereotip dan bias gender yang tak kasat mata, namun terasa menyesakkan. Ia teringat kutipan yang sering dibacanya setiap bulan April: “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Kalimat itu terasa begitu relevan, bukan hanya sebagai artefak sejarah, tapi sebagai mantra perjuangan personalnya hari ini.

“Gelapnya masih ada, Bu Kartini,” gumam Kania pada pantulan dirinya di kaca jendela. “Bentuknya saja yang berbeda.”

Di sudut lain Nusantara, di sebuah desa kecil di kaki Gunung Rinjani, Lombok, Dewi sedang duduk bersila di teras rumah panggung sederhananya. Dikelilingi belasan anak perempuan usia SD dan SMP, ia dengan sabar mengajari mereka membaca dan menulis aksara. Dewi adalah seorang guru honorer di sekolah negeri setempat pada pagi hari, dan penggagas ‘Pondok Baca Mentari’ di sore hari. Pondok baca ini adalah mimpinya, usahanya untuk meneruskan api semangat Kartini: pendidikan sebagai kunci pembuka cakrawala.

Gambar ilustrasi: Guru Hononorer di desa
Gambar ilustrasi: Guru Hononorer di desa

Tantangannya nyata. Banyak orang tua di desa masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi untuk anak perempuan tidaklah penting. “Ujung-ujungnya juga di dapur,” begitu cibiran yang sering Dewi dengar. Sumber daya terbatas, buku-buku harus ia kumpulkan dari donasi atau dibeli dengan menyisihkan gajinya yang tak seberapa. Ini adalah ‘gelap’ versi Dewi: keterbatasan akses, pola pikir kolot, dan perjuangan melawan apatisme. Namun, melihat binar mata anak-anak didiknya saat berhasil mengeja kata baru, atau saat mereka berani bertanya tentang dunia di luar desa mereka, itulah ‘terang’ yang membuatnya terus bergerak.

“Kita harus punya cita-cita setinggi langit, adik-adik,” ujar Dewi, suaranya lembut namun tegas. “Seperti Ibu Kartini dulu, beliau bermimpi perempuan bisa belajar, bisa pintar, bisa ikut membangun bangsa. Beliau menulis surat, kita sekarang bisa membaca buku, bisa belajar lewat internet nanti kalau ada sinyal bagus. Jangan pernah takut bermimpi.” Ia teringat kalimat Kartini lainnya yang menguatkannya: “Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan.” Perjuangan mungkin berat, tapi harapan akan fajar baru selalu ada.

Gambar ilustrasi Peneliti wanita Indonesia
Gambar ilustrasi Peneliti wanita Indonesia

Sementara itu, di sebuah laboratorium riset biologi molekuler di Yogyakarta, Dr. Citra Prameswari sedang menganalisis data sekuensing genom. Wanita berusia 35 tahun ini adalah bagian dari tim peneliti yang sedang mengembangkan metode deteksi dini penyakit degeneratif. Pekerjaannya menuntut ketelitian, jam kerja panjang, dan dedikasi tinggi. ‘Gelap’ bagi Citra adalah pertarungan sunyi melawan imposter syndrome – perasaan tidak pantas berada di posisinya, meskipun ia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari universitas ternama di luar negeri. Ia juga menghadapi ekspektasi sosial yang tak henti: kapan menikah, kapan punya anak, seolah pencapaian akademis dan profesionalnya belum cukup untuk mendefinisikan ‘kesuksesan’ seorang perempuan.

Kadang, saat eksperimen gagal atau saat ia merasa lelah menepis pertanyaan personal yang tak relevan dengan pekerjaannya, Citra membuka kembali buku kumpulan surat Kartini yang dihadiahkan ibunya saat ia lulus SMA. Ia terpaku pada semangat Kartini yang haus ilmu pengetahuan, yang mendambakan kesempatan untuk belajar dan berkembang seluas-luasnya. “Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.” Kata-kata itu seperti suntikan semangat. Citra mungkin tidak menghadapi pingitan harfiah, tapi ia berjuang membuka jalan bagi perempuan lain di bidang sains, membuktikan bahwa kecerdasan dan ambisi tak mengenal gender. Terangnya adalah setiap data baru yang berhasil ia olah, setiap hipotesis yang terbukti, setiap langkah maju dalam risetnya yang berpotensi menyelamatkan nyawa.

Ketiga perempuan ini, Anya, Dewi, dan Citra, mungkin tidak saling mengenal. Mereka hidup di era yang berbeda dengan Kartini, menghadapi bentuk ‘gelap’ yang berbeda pula. Anya melawan bias di dunia korporasi dan teknologi, Dewi memerangi keterbatasan akses pendidikan dan pola pikir konservatif, Citra menepis keraguan diri dan ekspektasi sosial di dunia akademik. Namun, benang merah perjuangan mereka sama: keinginan untuk merdeka, untuk menentukan jalan hidup sendiri, untuk berkontribusi sesuai potensi, dan untuk membuka pintu bagi generasi perempuan selanjutnya.

Semangat Kartini tidak membeku dalam buku sejarah atau seremoni tahunan. Ia hidup dalam denyut nadi perempuan-perempuan seperti Kania, yang tak gentar memimpin di ranah yang ‘maskulin’, memecahkan kode-kode kompleks, dan membuktikan bahwa inovasi tak berjenis kelamin. Terangnya adalah aplikasi buatannya yang kini membantu ribuan UMKM, sebagian besar dikelola perempuan, untuk Go Digital.

Semangat itu bersemayam dalam hati Dewi, yang dengan sabar dan gigih menyalakan pelita literasi di pelosok negeri, menanamkan mimpi pada anak-anak perempuan bahwa masa depan mereka tak terbatas pada dinding rumah. Terangnya adalah senyum anak didiknya yang kini berani bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau bahkan presiden.

Semangat itu mengalir dalam darah Citra, yang tekun di laboratoriumnya, mendorong batas-batas pengetahuan, membuktikan bahwa perempuan mampu mencapai puncak tertinggi dalam sains dan penelitian. Terangnya adalah potensi penemuan baru yang ia perjuangkan, harapan akan masa depan yang lebih sehat bagi semua.

Perjuangan Kartini lebih dari sekadar tentang kebaya atau sanggul. Itu adalah tentang hak untuk berpikir, hak untuk bersuara, hak untuk bermimpi, dan hak untuk mewujudkan mimpi itu. Di era modern ini, medan perjuangannya meluas: dari ruang rapat dewan direksi hingga ruang kelas darurat di desa terpencil, dari laboratorium canggih hingga panggung seni, dari arena olahraga hingga parlemen.

Pencapaian perempuan Indonesia hari ini adalah bukti nyata bahwa ‘terang’ itu terus meluas. Ada Susi Pudjiastuti yang dengan berani memimpin kementerian strategis, ada sutradara perempuan seperti Mouly Surya yang karyanya mendunia, ada atlet-atlet perempuan seperti Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang mengharumkan nama bangsa di kancah Olimpiade, ada jutaan perempuan wirausaha yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dan komunitasnya, ada ilmuwan, seniman, aktivis, jurnalis, dan pemimpin perempuan di berbagai sektor.

Mereka semua adalah refleksi dari semangat Kartini. Mereka adalah bukti bahwa ketika ‘gelap’ berupa keterbatasan dan keraguan coba menghalangi, perempuan Indonesia memiliki daya juang untuk mencari dan menciptakan ‘terang’. Mereka tidak hanya menuntut kesetaraan, tapi aktif membangunnya melalui karya dan kontribusi nyata.

Kania akhirnya berhasil meyakinkan investor setelah mempresentasikan prototipe yang solid dan testimoni pengguna awal yang kuat. Ia tidak mendapatkan seluruh dana yang diminta, tapi cukup untuk tahap awal. Itu adalah kemenangan kecil, sebuah cahaya di ujung terowongan gelap keraguan.

Dewi berhasil mendapatkan donasi buku dalam jumlah besar dari sebuah komunitas online dan beberapa orang tua mulai aktif mendukung Pondok Baca Mentari, bahkan ada yang menawarkan diri membantu mengajar. Cahaya literasi di desanya mulai berpendar lebih terang.

Citra mempresentasikan hasil riset awalnya di konferensi internasional dan mendapat apresiasi positif. Perasaannya tentang ‘imposter syndrome’ tidak hilang seketika, tapi ia belajar mengelolanya, fokus pada kompetensi dan kontribusinya. Cahaya keyakinan diri mulai mengusir bayangan keraguan.

“Habis Gelap Terbitlah Terang.” Kutipan itu bukan sekadar harapan pasif, tapi sebuah panggilan aktif untuk bertindak. Kartini memulainya dengan pena dan surat, menyalakan percikan api di tengah kegelapan zamannya. Kini, perempuan-perempuan Indonesia melanjutkan perjuangan itu dengan laptop, stetoskop, buku, mikrofon, cangkul, kuas, palu sidang – dengan segala alat dan potensi yang mereka miliki.

Selamat Hari Kartini 21 April 2025
Selamat Hari Kartini 21 April 2025

Kegelapan mungkin tak akan pernah sirna sepenuhnya. Bentuknya akan terus berevolusi seiring zaman. Namun, semangat Kartini yang terpatri dalam diri perempuan Indonesia memastikan bahwa perjuangan untuk mencari, menciptakan, dan menyebarkan ‘terang’ – terang pengetahuan, terang kesempatan, terang kesetaraan, terang kemerdekaan – akan terus berlanjut. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, memastikan bahwa fajar selalu menyingsing setelah malam tergelap sekalipun. Dan di sanalah letak keindahan dan kekuatan abadi dari warisan seorang Raden Ajeng Kartini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

EnglishIndonesia